Kisah Cinta Monyetku dan Sahabat
Namaku Tasha. Saat itu aku duduk di kelas VIII. Seperti pada umumnya, sebagai seorang pelajar kita sering mendapat tugas sekolah, individu ataupun kelompok. Di sinilah awal semua kisah cintaku. Di sekolah, aku mendapat tugas kelompok PKN bersama Tari, Willy, dan Putera sesuai dengan urutan nomor absen.
***
Hari itu hari Minggu, sepulang ekskul aku langsung masuk kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku meraih ponsel yang berada di atas meja TV. Di layar terlihat satu pesan masuk dari Tari.
Ntar kerja kelompok ya di rumah Putera jam 11. Makasiiih..
_Tari_
Aku terkejut saat membacanya, sekilas aku menoleh pada jarum jam yang menunjukkan pukul 1 siang. Perasaan tidak enak menghantui diriku. Segera ku hubungi mereka satu per satu dan mengucapkan kata ‘maaf’ karena tidak datang saat kerja kelompok beberapa jam yang lalu.
Saat telfon diangkat, aku langsung nyerocos tanpa henti. “Willy! Willy! Willy! Willy! Willy!” panggilku panik.
“Apaan? Ini siapa?” tanya seseorang yang ada di ujung sana.
“Ini gue Tasha. Tadi kerja kelompok gimana?” tanyaku setelah menyebutkan nama karena aku menelfon melalui telfon rumah.
“Oh.. nggak gimana-gimana. Tadi cuma pada maen doang.” Katanya.
“Oh.. tugasnya udah selesei? Minta nomornya Putera dong!” ucapku.
“Belom. Orang pada maen doang. Ntar dah gue smsin nomornya.” Janjinya.
“Yah.. yaudah deh. Makasih !” kataku ramah.
Setelah itu, aku menelfon Tari. “Halo!” suara seseorang di seberang sana terdengar jelas di telingaku.
“Tari... maaf yaa...!!! gue tadi nggak ikut kerja kelompok.. soalnya tadi gue ekskul. Trus gue juga nggak bawa HP. Jadinya gue baru baca SMS lu tadi pas udah pulang paskib...” ucapku tanpa jeda, bahkan tidak membalas salam terlebih dahulu.
“Woy! Nafas woy! Hahaha..” ledeknya. “Biasa aja lagi. Lagian tadi juga cuma gitu-gitu doang. Belom selesei pula.” lanjutnya lagi.
“Yahh.. trus gimana dong?” tanyaku lirih.
“Tadi sih niatnya pengen gue kerjain. Tapi lu aja yak yang ngerjain. Gue males.! Bener deh gue males..! yayaya?” pintanya.
“Mm... yaudah deh. Ntar gue coba ngerjain.” Kataku akhirnya.
“Oke Tasha...!!! baik deh.. hehe tau kan materinya?” seru Tari.
“Tau. Eh, udah yaaa... makasih Tarii..!!!!” kataku sebelum akhirnya Tari berkata, “Sama-sama..”.
Setelah menutup telfon, aku langsung disibukkan dengan tugas PKN. Ku singkirkan jauh-jauh ponselku ke dalam lemari baju. Fikiranku terfokus hanya pada laptop di depanku. Dan akhirnya selesai juga tepat pada pukul 9 malam. Kemudian, aku mengambil ponselku. Ada empat SMS masuk dari Willy. Memang sih rata-rata isinya hampir sama, dan di antaranya adalah
Tasha, tugas PKN gimna? Nih no.nya Putera -> 02199768954
Tasha, PKN gimna nih?
Tasha?
Tasha, bales dong! PKN gimana? Udh lu kerjain?
Tetapi, semua SMS itu tidak satu pun yang aku balas lantaran pulsa lagi sekarat. Jadi, aku memilih mengabaikannya saja. Biarlah dia tahu jawabannya esok saat di sekolah, fikirku.
Keesokan harinya, aku langsung menyerahkan hasil kerjaku itu kepada Tari. Namun Tari memintaku untuk menyimpannya terlebih dahulu. Tak lama dari itu, Willy dan Putera datang menghampiriku. “ Sha, liat tugas PKN dong!” seru Putera. Lalu, aku mengambil lembaran kertas dari dalam tas dan ku sodorkan pada mereka. Mereka pun pergi dengan membawa lembaran kertas itu.
Setelah bel masuk berbunyi dengan nyaringnya, semua anak masuk ke kelasnya masing-masing. Jam pertama adalah pelajaran IPA Biologi oleh Pak Suprodjo. Biasanya, kami belajar di ruang Lab. IPA atau di ruang kelas. Dan hari itu kami belajar di ruang Lab. IPA. Pak Prodjo selalu mempunyai cara belajar tersendiri untuk menjadikan suasana dalam belajar selalu menyenangkan. Seperti saat ini, beliau menunjuk dua anak, laki-laki dan perempuan maju ke depan dan suit untuk menentukan siapa yang menang dan yang kalah. Selepas itu, yang kalah akan mendapat hukuman menjelaskan atau memperagakan isi materi. Kemudian, yang kalah tersebut menunjuk dua teman, laki-laki dan perempuan untuk melakukan hal yang sama.
Hal ini dimanfaatkan anak-anak untuk menjahili pasangan-pasangan yang menjadi gosip di kelas. Aku pun kena imbasnya. Tiyas memilih Wawan dan aku. Saat itu aku menyukai Wawan, dan Tiyas tahu tentang itu karena dia adalah sahabat sekaligus teman sebangkuku. Aku menyukai Wawan dari mulai awal kelas VII. Menurutku, Wawan termasuk cowo paling manis, lucu, dan unik di kelas. Lawakannya selalu bisa membuat kelas jadi ramai dengan tawa hampir seluruh penghuninya.
Selama di depan kelas, aku menyembunyikan wajahku karena malu. Akhirnya, aku pun salah tingkah. Dan buruknya lagi, aku harus menerima hukuman memperagakan bernafas menggunakan diafragma lantaran kalah suit dengan Wawan. Kemudian, aku harus memilih dua teman. Aku memilih Nisa dan Willy, karena Nisa pernah bilang bahwa dia menyukai Willy.
“Ah elu, Sha!” protes Willy. Aku hanya bisa membalasnya dengan cengiran lebarku. Tapi akhirnya Willy duduk kembali dan Nisalah yang kalah.
***
Saat pulang sekolah, aku berniat meminta nomor telfon Satya pada Willy melalui SMS.
“Willy.. minta no. HP nya Satya dong !”
Tak lama kemudian, aku menerima balasan SMS darinya.
“Cieee..!!! buat apa tuuuh? Hahaha lu suka ya sama Satya? Wkwkwk”
Sebelah alisku pun terangkat. Lalu, ku balas pesannya.
“Apaan siih?? Nggak kok. Cuma mau minta no.nya aja. Huuu !!! sok tau..!” tandasku.
“Trs siapa dong klo bukan Satya? Oh gue tau, Wawan yaaa...???”
Diam-diam ku sunggingkan seulas senyum yang penuh arti.
“Ada deeehh.. mau tau aja lu! :p weekk !!” ledekku.
“Ato Edi? Wkwkwk cieee.. Edi kan suka sama lu. Trus dulu juga Wawan gosipnya suka sama lu.” Katanya.
“Boodo ! dasar Nisaa..!!!” Balasku ketus.
SMSan tersebut berlanjut dengan saling mengatai satu sama lain. Hal itu membuatku dekat dengannya dan semakin dekat, sampai akhirnya aku menyukainya tanpa sadar. Di sekolah pun aku selalu berceloteh tentangnya, entah dengan Tiyas ataupun Didi dan bahkan aku sering mengulang cerita yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Sampai suatu saat aku terus meledekinya dengan menyebut-nyebut nama Nisa, Willy berkata “cemburu yaaa? Wkwkwk” dan saat itulah aku baru tersadar bahwa aku telah menyukainya. Rasa nyaman yang diberikannya telah sanggup meluluhkan hatiku yang semula ku berikan untuk Wawan.
Karena aku selalu mengelak dari tuduhannya bahwa aku menyukai Wawan, akhirnya dia pun bertanya, “Trus lu suka sama siapa dong?”
“Ada deeh..!!” jawabku, lalu aku pun balik bertanya,”Lu?”
“Ah lu dulu!” serunya.
“Lu dululah..” aku pun tak mau kalah.
“Okee.. gue suka samaaa.... Ales.” Katanya.
“Ales? Siapa tuh?” tanyaku penasaran.
“wkwk Christian Gonzales. :D” jawabnya jujur.
“ckck.. -,-“ azz” decakku. “Untung aja gue nggak langsung ketipu. Trus siapa dong? Ciee.. hahaha kasih tau dong! Kasih tau!” desakku sedikit memaksa.
“Sebenernya, gue suka samaa... luuuuuuu !!!!! hehe.. lu?” katanya. Kalimat itu sempat membuatku beku sejenak. Aku terdiam, berusaha sekuat mungkin menebas semua bunga yang bermekaran. Apakah dia berkata jujur? Atau mungkin dia hanya bercanda ataupun sekedar ingin mengerjaiku belaka? Tanyaku dalam hati.
Setelah beberapa menit kemudian, ada satu pesan masuk dari Willy, “cuy?” dan aku tersadar dari lamunanku setelah beberapa menit yang lalu aku melayang ke dunia hayalan. Segera aku membalas pesannya, “paan? Gue juga suka sama luuuuu... hehehe :D”. Ucapku jujur. Semuanya pun jelas.
***
Malam yang berbeda, tepatnya tanggal 25 Januari 2011 pukul 20.43. Aku dan Willy SMSan seperti malam-malam sebelumnya.
“Tasha?” panggilnya.
“Apa?” sahutku.
“Lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi nonton TV, smsan, sama lagi tiduran. Lu?” balasku.
“Lagi nonton TV.” jawabnya singkat.
“Oh. Nonton apa?” tanyaku lagi.
“OVJ..” jawabnya. Kemudian, (enter..enter..enter..enter..enter) “Cuy, lu mau nggak jadi pacar gue? Gue masih suka sm lu. Klo nggak mau juga gpp sih.” Katanya tanpa basa-basi setelah enter yang lumayan panjang.
Aku langsung terbangun dari posisi tidur ke posisi duduk. Ku rasakan tanganku bergemetar, jantungku berdegup cepat, dan kakiku terasa menginjak bongkahan es besar yang sangat dingin. Mataku menyapu seisi ruangan dan otakku perfikir keras. “Aku tidak dapat memutuskannya sendiri”, ucapku dalam hati. Aku segera mengirim pesan kepada Tiyas.
“Yas, Willy nembak guee... :D gimana niiih? Gue bingung.” Ucapku panik dan juga bimbang namun sedikit girang.
“Eh serius? :O” tanyanya tidak percaya.
“Iyaaa... gimana nih? cepet!” tanyaku.
Kemudian, masuk satu pesan lagi dari Willy. “Sha, gimana? Lu mau nggak jadi pacar gue? Klo nggak mau juga gpp.” Ulangnya. Aku semakin panik dan bingung. “Mm.. Trus Nisa gimana dong?” balasku.
“Nggak tau deh. Jadi gimana?” tanyanya meminta sebuah kepastian.
Ketika sedang berfikir keras, masuk satu pesan dari Tiyas. “Yaudah terima ajaaa... :D hehe cepet! Terimaaa!!” paksanya.
“Trus gimana sama Nisaaa? Gue takut ntar dia marah..” ucapku lirih.
“Udah nggak usah lu pikirin Nisa. Sekarang pikirin dlu tuh. Mau lu terima apa enggak. Lagian Nisa kan bukan cewenya Willy. Punya alasan apa coba dia buat marah sama lu. Trus juga yang nembak kan Willy, bukan lu! Dia nggak punya hak apa-apa dong!” katanya panjang lebar.
Lalu, ku putuskan untuk menerima Willy. Muncul di benakku rasa bersalah kepada Nisa. Aku tahu dia menyukai Willy, tapi aku juga takut menyesal apabila menolak Willy. Dan aku menerima Willy sesuai dengan saran dari Tiyas.
“Yaudah, jalanin aja dulu.” Jawabku.
“Makasih ya, Sha. Lu udah nerima gue apa adanya.” Ucapnya. “Gue janji, gue nggak akan ngecewain lu! J” janjinya kemudian.
Tersungging seulas senyum tipis di bibirku. Baru kali ini aku mendengar kalimat itu. “Lebay lu!! Hahahaaha :p :D” ledekku.
***
Tiyas menceritakan semua kegelisahannya kepadaku. Saat itu, dia sedang mengalami kegalauan tingkat tinggi. Pacarnya mengaku pernah menyukai wanita lain sewaktu berpacaran dengannya. Aku hanya mendengarkannya bercerita. Lalu, terlintas di fikiranku menanyakan hal yang sama kepada Willy. Ternyata, Willy pun sama saja dengan Ifan, pacar Tiyas sekaligus teman dekat Willy. Namun, aku hanya merasakan sedikit kekecewaan pada Willy. Willy mengaku sudah tidak menyukainya, dan dia juga mengaku tidak mengenalnya. Tapi, dia tahu bahwa perempuan itu adalah anak kelas VIII-3. Siapakah wanita itu? Apakah dia cantik? Maniskah? Mengapa Willy sampai bisa menyukainya? Apa alasannya? Apakah Willy sudah bosan denganku?
Dan inilah akhir dari semua kisahku bersama Willy. Sabtu, 16 April 2011. Saat itu aku sedang hilang mood untuk SMSan dengan Willy. Akibatnya aku membalas pesannya dengan sangat singkat. Aku mengantuk. Sampai akhirnya Willy berkata, “Sha, mau tau nggak siapa cewe yang gue suka?”.
“Siapa?” tanyaku singkat.
“Beneran nih?” tanyanya.
“Iya!” jawabku mantap.
“Yakin?” tanyanya lagi.
“Iyaaa... udah cepetan bilang!” ketusku.
“Gue nggak kenal sama dia, tapi gue tau dia anak VIII-3. Lu jangan marah ya?” ucapnya. Dengan malas, aku pun membalas pesannya dan berniat ingin langsung tidur. “Iya. Gue nggak marah.” Kataku.
Sebelum mataku tertutup rapat, ada satu pesan lagi dari Willy. Aku kembali terbangun untuk sejenak membaca pesannya.
“Tapi sekarang gue udah nggak begitu suka lagi sama dia. Sekarang gue lebih suka sama lu.”
Mataku terbelalak ketika membacanya. Hatiku terasa sakit. Sesak menghimpit dadaku hingga air mata tak terbendung lagi. Aku menangis. Menjatuhkan setetes air mata. Sejenak ku tenangkan hatiku yang mulai runtuh terguncang. Lalu, ku balas pesannya lagi dan meminta kepastian darinya. “NGGAK BEGITU SUKA? Berarti masih suka dong?” ucapku menahan tangis.
Beberapa menit kemudian, “Sedikit. Tapi sekarang lebih banyakan ke lu kok.” Jelasnya. Kembali ku teteskan air mata. Ku benamkan wajahku ke atas bantal. Isak tangis terdengar di telingaku. Tak lama kemudian, ponselku kembali bergetar. Ku buka pesan Willy, “ Sha, nggak marah kan?”, tapi aku mengabaikannya. Tak sanggup rasanya aku membalas pesannya. Aku termenung, memikirkan sesuatu hal yang mungkin berakibat fatal. Aku berniat untuk memutuskan hubungan dengannya. Tetapi, apabila dia tidak mau, aku pun tidak akan memaksanya. Otakku berfikir keras. Dan keputusan telah ku ambil dengan berbagai resiko yang mengintai.
“Willy, kita putus aja ya?” kataku ragu.
“Yaudah.” Jawabnya cepat dan singkat.
Satu kata yang telah sanggup memisahkan aku dan Willy berkumandang. Terpaksa aku harus melewati malam Minggu tanpa adanya seseorang yang spesial. Aku pun memberitahukan berita menyedihkan itu kepada sahabat-sahabatku. “Tiyas, Nia, Fani, gue udah putus dong sama Willy.. hahaha :D” ucapku riang menyembunyikan bertumpuk kesedihan. Dan sejak saat itu, hari-hariku tak luput dari kegalauan. Entah bergalau di Facebook, Twitter, ataupun kepada sahabat-sahabatku dengan sekedar sharing.
***
Dua hari setelah putusnya hubunganku dengan Willy. Di sekolah diadakan senam bersama, setelah itu kami bermain bebas. Terdengar lantunan sebuah lagu dari speaker-speaker yang telah terpasang. Tapi mengapa lagu-lagu yang diputar adalah lagu-lagu kenanganku bersama Willy? Aku merasa dihantui oleh kenangan-kenangan manisku bersama Willy. Tak sengaja aku melihat Willy, dan Willy juga sedang melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu. Menyadarkan pada kenyataan yang tak lagi berpihak kepadaku.
***
Sejak saat putusnya hubunganku dengannya, aku merasa Willy berubah. Dibarengi dengan itu, aku dan Fani mengalami sedikit konflik. Fani menuliskan sebuah status yang ditujukan padaku. Fani menyukai Willy sejak lama, tapi aku tak pernah tahu. Aku pun kecewa padanya dan marah karena dia tidak mau berterus terang sejak awal. Dan bukan karena itu saja, tapi karena Fani menyindirku habis-habisan di muka umum, padahal aku tidak tahu sama sekali kalau dia menyukai Willy.
Pada malam harinya, Fani mengirimkan pesan singkat kepadaku.
Tasha.. lu marah ya sama gue? Maafin gue, Sha. Gue khilaf. Harusnya gue nggak nulis status kayak gitu tentang lu dan nyindir lu. Maafin gue, Sha! Gue ngaku salah.. saat itu, gue emang lagi kesel banget sama lu. Gue iri sama hidup lu.. gue ngerasa elu tuh beruntung banget bisa jadian sama siapa aja yang lu suka. Maafin gue, Shaa..!!! :’( lu mau kan maafin gue?
***
Setelah beberapa hari, aku sudah melupakan masalahku dengan Fani. Tetapi, Ferra salah satu sahabatku bersikeras ingin menyidang dan menyelesaikan masalah di antara aku dan Fani. Masalah pun selesai. Di antara aku dan Fani sudah tidak ada keganjalan lagi. Dan kami pun mencari alternatif dari masalah ini. Kami memutuskan untuk saling melupakan Willy dan mencari penggantinya.
***
“Fan, tuh tuh, Fan! Ada diaaaa!!!” seruku riang sambil menunjuk-nunjuk manusia tampan yang ku lihat.
“Yang mana?” tanya Fani dengan mengedarkan matanya mencari-cari orang yang ku maksud.
“Itu tuuuh..!!!” ucapku semakin keras.
“Oh.. yang itu toh. Oh yayayaya..!! Tau! Tau! Tau!” katanya tanda mengerti. Dan tak lama kemudian, Fani berkata, “Sha, klo lu yang itu, gue mau yang itu yaaa... yang satunya lagiiii...!!! hhehehhe” katanya sambil menunjuk seseorang yang berdiri tidak jauh dari manusia tampan yang ku maksud.
***
Kini, aku dan Fani menjadi sangat dekat dan kompak. Terutama masalah Rama dan Yoyo. Tapi, sayangnya Fani tidak berani melakukan PDKT dengan Rama. Meskipun sempat ia mencoba mengirimkan pesan singkat kepada Rama, tapi Fani tidak berani melanjutkannya. Alasannya adalah, karena Rama sangat cuek dengannya, padahal menurutku Rama tidak secuek itu. Bahkan, mungkin sekarang Rama mulai menyukai Fani. Sahabatku yang cantik, baik, dan pinter ini selalu merendahkan dirinya sendiri dan mudah sekali pesimis. Satu kalimat untukmu kawan, “Ayo, Fani.. Berjuang! J”
Sedangkan itu, aku berhasil mendekati Yoyo. Tepat pada tanggal 26 September 2011 pukul 20.00, aku menjalin hubungan dengannya, tentunya setelah berbagai rintangan yang ku lalui dan banyaknya saingan. Dan sampai saat ini, aku masih bersamanya. J Bersama Yoyo.
Kemudian, setelah beberapa hari aku menjalin hubungan dengan Yoyo, Willy pun sama. Kini, Willy telah bersama Sima. Entah Sima atau bukan yang saat itu telah membuat Willy berpaling dariku? Aku tidak tahu pasti dan aku tidak terlalu peduli lagi. Karena, dahulu Sima adalah anak kelas VIII-3. Mungkin iya, atau bisa juga tidak.
_The End_